Senin, 10 Januari 2022

REVIEW UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS

 

Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya. Undang – undang no. 20 tahun 2016 mengenai merek dan indikasi geografis ini terdiri 20 BAB dan 109 Pasal, yang mana dalam UU tersebut sudah dijelaskan secara rinci mengenai merek dan indikasi geografis.

BAB 1 membahas terkait ketentuan umum. BAB 1 terdiri dari pasal 1 yang membahas merek dan perangkatnya secara umum.

BAB 2 membahas lingkup merek yang terdiri dari pasal 2 dan pasal 3.

BAB 3 membahas permohonan pendaftaran merek. BAB 3 terdiri dari bagian kesatu syarat dan tata cara permohonan, bagian kedua permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas, bagian ketiga pemeriksaan kelengkapan persyaratan pendaftaran merek, bagian keempat tanggal penerimaan permohonan, bagian kelima pengumuman permohonan, bagian keenam keberatan dan sanggahan, dan bagian ketujuh perbaikan dan penarikan kembali permohonan pendaftaran merek. Bagian kesatu syarat dan tata cara permohonan terdiri dari pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7, dan pasal 8. Bagian kedua permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas terdiri dari pasal 9 dan pasal 10. Bagian ketiga pemeriksaan kelengkapan persyaratan pendaftaran merek terdiri dari pasal 11 dan pasal 12. Bagian keempat tanggal penerimaan permohonan terdiri dari pasal 13. Bagian kelima pengumuman permohonan terdiri dari pasal 14 dan pasal 15. Bagian keenam keberatan dan sanggahan terdiri dari pasal 16 dan pasal 17. Bagian ketujuh perbaikan dan penarikan kembali permohonan pendaftaran merek terdiri dari pasal 18 dan pasal 19.

BAB 4 membahas pendaftaran merek. BAB 4 terdiri dari bagian kesatu merek yang tidak dapat didaftar dan ditolak, bagian kedua pemeriksaan substantive merek, bagian ketiga perbaikan sertifikat, bagian keempat permohonan banding, bagian kelima komisi banding merek, dan bagian keenam jangka waktu perlindungan dan perpanjangan merek terdaftar. Bagian kesatu merek yang tidak dapat didaftar dan ditolak terdiri dari pasal 20, pasal 21, dan pasal 22. Bagian kedua pemeriksaan substantive merek terdiri dari pasal 23, pasal 24, pasal 25, dan pasal 26. Bagian ketiga perbaikan sertifikat terdiri dari pasal 27. Bagian keempat permohonan banding terdiri dari pasal 28, pasal 29, pasal 30, pasal 31, dan pasal 32. Bagian kelima komisi banding merek terdiri dari pasal 33 dan pasal 34. Bagian keenam jangka waktu perlindungan dan perpanjangan merek terdaftar terdiri dari pasal 35, pasal 36, pasal 37, pasal 38, pasal 39, dan pasal 40.

BAB 5 membahas pengalihan hak dan lisensi. BAB 5 terdiri dari bagian kesatu pengalihan hak dan bagian kedua lisensi. Bagian kesatu pengalihan hak terdiri dari pasal 41. Bagian kedua lisensi terdiri dari pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 45.

BAB 6 membahas merek kolektif yang terdiri dari pasal 46, pasal 47, pasal 48, pasal 49, pasal 50, dan pasal 51.

BAB 7 membahas permohonan pendaftaran merek internasional terdiri dari pasal 52.

BAB 8 membahas indikasi geografis terdiri dari pasal 53, pasal 54, dan pasal 55.

BAB 9 membahas pendaftaran indikasi geografis. BAB 8 terdiri dari bagian kesatu indikasi geografis yang tidak dapat didaftar dan ditolak, bagian kedua pemeriksaan substantif indikasi geografis, bagian ketiga jangka waktu perlindungan dan penghapusan indikasi geografis, dan bagian keempat indikasi asal. Bagian kesatu indikasi geografis yang tidak dapat didaftar dan ditolak terdiri dari pasal 56 dan pasal 57. Bagian kedua pemeriksaan substantif indikasi geografis terdiri dari pasal 58, pasal 59, dan pasal 60. Bagian ketiga jangka waktu perlindungan dan penghapusan indikasi geografis terdiri dari pasal 61 dan pasal 62. Bagian keempat indikasi asal terdiri dari pasal 63, pasal 64, dan pasal 65.

BAB 10 membahas pelanggaran dan gugatan. BAB 10 terdiri dari bagian kesatu pelanggaran atas indikasi geografis dan bagian kedua gugatan. Bagian kesatu pelanggaran atas indikasi geografis terdiri dari pasal 66. Bagian kedua gugatan terdiri dari pasal 67, pasal 68, dan pasal 69.

BAB 11 membahas pembinaan dan pengawasan indikasi geografis. BAB 11 terdiri dari bagian kesatu pembinaan dan bagian kedua pengawasan. Bagian kesatu pembinaan terdiri dari pasal 70. Bagian kedua pengawasan terdiri dari pasal 71.

BAB 12 membahas penghapusan dan pembatan pendaftaran merek. BAB 12 terdiri dari bagian kesatu penghapusan dan bagian kedua pembatalan. Bagian kesatu penghapusan terdiri dari pasal 72, pasal 73, pasal 74, dan pasal 75. Bagian kedua pembatalan terdiri dari pasal 76, pasal 77, pasal 78, dan pasal 79.

BAB 13 membahas system jaringan dokumentasi daan infomasi merek dan indikasi geografis yang terdiri dari pasal 80 dan pasal 81.

BAB 14 membahas biaya yang terdiri dari pasal 82.

BAB 15 membahas penyelesaian sengketa. BAB 15 terdiri dari bagian kesatu gugatan atas pelanggaran merek, bagian kedua tata cara gugatan pada pengadilan niaga, bagian ketiga kasasi, bagian keempat tata cara pelaksanaan putusan, dan bagian kelima alternative penyelesaian sengketa. Bagian kesatu gugatan atas pelanggaran merek terdiri dari pasal 83 dan pasal 84. Bagian kedua tata cara gugatan pada pengadilan niaga terdiri dari pasal 85 dan pasal 86. Bagian ketiga kasasi terdiri dari pasal 87, pasal 88, pasal 89, dan pasal 90. Bagian keempat tata cara pelaksanaan putusan terdiri dari pasal 91 dan pasal 92. Bagian kelima alternative penyelesaian sengketa terdiri dari pasal 93.

BAB 16 membahas penetapan sementara pengadilan yang terdiri dari pasal 94, pasal 95, pasal 96, pasal 97, dan pasal 98.

BAB 17 membahas penyidikan yang terdiri dari pasal 99.

BAB 18 membahas ketentuan pidana yang terdiri dari pasal 100, pasal 101, pasal 102, dan pasal 103.

BAB 19 membahas ketentuan peralihan yang terdiri dari pasal 104 dan pasal 105.

BAB 20 membahas ketentuan penutup yang terdiri dari pasal 106, pasal 107, pasal 108, dan pasal 109.

REVIEW UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI

 

Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri. Undang – undang no. 31 tahun 2000 mengenai desain industri ini terdiri 13 BAB dan 57 Pasal, yang mana dalam UU tersebut sudah dijelaskan secara rinci mengenai desain industri.

BAB 1 membahas terkait ketentuan umum. BAB 1 terdiri dari pasal 1 yang membahas desain industri dan perangkatnya secara umum.

BAB 2 membahas lingkup desain industri. BAB 2 terdiri dari bagian pertama desain industri yang mendapat perlindungan, bagian kedua desain industri yang tidak mendapat perlindungan, bagian ketiga jangka waktu perlindungan desain industri, bagian keempat subjek desain industri, dan bagian kelima lingkup hak. Bagian pertama desain industri yang mendapat perlindungan terdiri dari pasal 2 dan pasal 3. Bagian kedua desain industri yang tidak mendapat perlindungan terdiri dari pasal 4. Bagian ketiga jangka waktu perlindungan desain industri terdiri dari pasal 5. Bagian keempat subjek desain industri terdiri dari pasal 6, pasal 7, dan pasal 8. Bagian kelima lingkup hak terdiri dari pasal 9.

BAB 3 membahas permohonan pendaftaran desain industri. BAB 3 terdiri dari bagian pertama umum, bagian kedua permohonaan dengan hak prioritas, bagian ketiga waktu penerimaan permohonan, bagian keempat penarikan kembali permohonan, dan bagian kelima kewajiban menjaga kerahasiaan. Bagian pertama umum terdiri dari pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 14, dan pasal 15. Bagiain kedua permohonaan dengan hak prioritas terdiri dari pasal 16 dan pasal 17. Bagian ketiga waktu penerimaan permohonan terdiri dari pasal 18, pasal 19, dan pasal 20. Bagian keempat penarikan kembali permohonan terdiri dari pasal 21. Bagian kelima kewajiban menjaga kerahasiaan terdiri dari pasal 22 dan pasal 23.

BAB 4 membahas pemeriksaan desain industri. BAB 4 terdiri dari bagian pertama pemeriksaan administratif dan bagian kedua pengumuman, pemeriksaan substantif, pemberian, dan penolakan. Bagian pertama pemeriksaan administratif terdiri dari pasal 24. Bagian kedua pengumuman, pemeriksaan substantif, pemberian, dan penolakan terdiri dari pasal 25, pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29, dan pasal 30.

BAB 5 membahas pengalihan hak dan lisensi. BAB 5 terdiri dari bagian pertama pengalihan hak dan bagian kedua lisensi. Bagian pertama pengalihan hak terdiri dari pasal 31 dan pasal 32. Bagian kedua lisensi terdiri dari pasal 33, pasal 34, pasal 35, dan pasal 36.

BAB 6 membahas pembatalan pendaftaraan desain industri. BAB 6 terdiri dari bagian pertama pembatalan pendaftaran berdasarkan permintaan pemegang hak desain industri, bagian kedua pembatan pendaftaran berdasarkan gugatan, bagian ketiga tata cara gugatan, dan bagian keempat akibat pembatalan pendaftaran. Bagian pertama pembatalan pendaftaran berdasarkan permintaan pemegang hak desain industri terdiri dari pasal 37. Bagian kedua pembatan pendaftaran berdasarkan gugatan terdiri dari pasal 38. Bagian ketiga tata cara gugatan terdiri dari pasal 39, pasal 40, pasal 41, dan pasal 42. Bagian keempat akibat pembatalan pendaftaran terdiri dari pasal 43 dan pasal 44.

BAB 7 membahas biaya terdiri dari pasal 45.

BAB 8 membahas penyelesaian sengketa terdiri dari pasal 46, pasal 47, dan pasal 48.

BAB 9 membahas penetapan sementara pengadilan terdiri dari pasal 49, pasal 50, pasal 51, dan pasal 52.

BAB 10 membahas penyidikan terdiri dari pasal 53.

BAB 11 membahas ketentuan pidana terdiri dari pasal 54.

BAB 12 membahas ketentuan peralihan terdiri dari pasal 55.

BAB 13 membahas ketentuan penutup terdiri dari pasal 56 dan pasal 57.

REVIEW UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN

 

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Undang – undang no. 13 tahun 2016 mengenai paten ini terdiri 20 BAB dan 173 Pasal, yang mana dalam UU tersebut sudah dijelaskan secara rinci mengenai paten.

BAB 1 membahas terkait ketentuan umum. BAB 1 terdiri dari pasal 1 yang membahas paten dan perangkatnya secara umum. 

BAB 2 membahas lingkup perlindungan paten. BAB 2 terdiri dari bagian kesatu umum, bagian kedua invesi yang terdiri dari paragraf 1 dan paragraf 2, bagian ketiga subjek paten, bagian keempat pemakai terdahulu, bagian kelima hak dan kewajiban pemegang paten, dan bagian keenam jangka waktu perlindungan paten. Bagian kesatu umum terdiri dari pasal 2, pasal 3, dan pasal 4. Bagian kedua invesi pada paragraf 1 membahas invensi yang dapat diberi paten terdiri dari pasal 5, pasal 6, pasal 7, dan pasal 8. Bagian kedua paragraf 2 membahas invensi yang tidak dapat diberi paten terdiri dari pasal 9. Bagian ketiga subjek paten terdiri dari pasal 10, pasal 11, pasal 12, dan pasal 13. Bagian keempat pemakai terdahulu terdiri dari pasal 14, pasal 15, pasal 16, pasal 17, dan pasal 18. Bagian kelima hak dan kewajiban pemegang paten terdiri dari pasal 19, pasal 20, dan pasal 21. Bagian keenam jangka waktu perlindungan paten terdiri dari pasal 22 dan pasal 23.

BAB 3 membahas permohonan paten. BAB 3 terdiri dari bagian kesatu syarat dan tata cara permohonan, bagian kedua permohonan dengan hak prioritas, bagian ketiga permohonan berdasarkan traktat kerja sama paten, bagian keempat pemeriksaan administrative, bagian kelima perubahan dan divisional permohonan terdiri dari paragraf 1, paragraf 2, dan paragraf 3, bagian keenam penarikan kembali permohonan, dan bagian ketujuh permohonan yang tidak dapat diterima dan kewajiban menjaga kerahasiaan. Bagian kesatu syarat dan tata cara permohonan terdiri dari pasal 24, pasal 25, pasal 26, pasal 27, pasal 28, dan pasal 29. Bagian kedua permohonan dengan hak prioritas terdiri dari pasal 30, pasal 31, dan pasal 32. Bagian ketiga permohonan berdasarkan traktat kerja sama paten terdiri dari pasal 33. Bagian keempat pemeriksaan administrative terdiri dari pasal 34, pasal 35, pasal 36, dan pasal 37. Bagian kelima perubahan dan divisional permohonan paragraf 1 umum terdiri dari pasal 38. Bagian kelima perubahan dan divisional permohonan paragraf 2 membahas perubahan permohonan terdiri dari pasal 39 dan pasal 40. Bagian kelima perubahan dan divisional permohonan paragraf 3 membahas divisional permohonan terdiri dari pasal 41 dan pasal 42. Bagian keenam penarikan kembali permohonan terdiri dari pasal 43. Bagian ketujuh permohonan yang tidak dapat diterima dan kewajiban menjaga kerahasiaan terdiri dari pasal 44 dan pasal 45.

BAB 4 membahas pengumuman dan pemeriksaan substantive. BAB 4 terdiri dari bagian kesatu pengumuman dan bagian kedua pemeriksaan substantive. Bagian kesatu pengumuman terdiri dari pasal 46, pasal 47, pasal 48, pasal 49, dan pasal 50. Bagian kedua pemeriksaan substantive terdiri dari pasal 51, pasal 52, pasal 53, pasal 54, pasal 55, dan pasal 56.

BAB 5 membahas persetujuan atau penolakan permohonan. BAB 5 terdiri dari bagian kesatu umum, bagian kedua persetujuan, dan bagian ketiga penolakan. Bagian kesatu umum terdiri dari pasal 57. Bagian kedua persetujuan terdiri dari pasal 58, pasal 59, pasal 60, dan pasal 61. Bagian ketiga penolakan terdiri dari pasal 62 dan pasal 63.

BAB 6 membahas komisi banding paten dan permohonan banding. BAB 6 terdiri dari bagian kesatu komisi banding paten, bagian kedua permohonan banding terdiri dari paragraf 1, paragraf 2, paragraf 3, dan paragraf 4, dan bagian ketiga upaya hukum. Bagian kesatu komisi banding paten terdiri dari pasal 64, pasal 65, dan pasal 66. Bagian kedua permohonan banding paragraf 1 umum terdiri dari pasal 67. Bagian kedua permohonan banding paragraf 2 membahas permohonan banding terhadap penolakan permohonan terdiri dari pasal 68. Bagian kedua permohonan banding paragraf 3 membahas permohonan banding terhadap koreksi atas deskripsi, klaim, dan/atau gambar setelah permohonan diberi paten terdiri dari pasal 69. Bagian kedua permohonan banding paragraf 4 membahas permohonan banding terhadap keputusan pemberian paten terdiri dari pasal 70 dan pasal 71. Bagian ketiga upaya hukum terdiri dari pasal 72 dan pasal 73.

BAB 7 membahas pengalihan hak, lisensi, dan paten sebagai objek jaminan fidusia. BAB 7 terdiri dari bagian kesatu pengalihan hak, bagian kedua lisensi, bagian ketiga lisensi wajib terdiri dari paragraf 1, paragraf 2, paragraf 3, paragraf 4, paragraf 5, paragraf 6, dan paragraf 7, dan bagian keempat paten sebagai objek jaminan fidusia. Bagian kesatu pengalihan hak terdiri dari pasal 74 dan pasal 75. Bagian kedua lisensi terdiri dari pasal 76, pasal 77, pasal 78, pasal 79, dan pasal 80. Bagian ketiga lisensi wajib paragraf 1 umum terdiri dari pasal 81 dan pasal 82. Bagian ketiga lisensi wajib paragraf 2 membahas permohonan lisensi wajib terdiri dari pasal 83, pasal 84, pasal 85, dan pasal 86. Bagian ketiga lisensi wajib paragraf 3 membahas pemberian, penundaan, atau penolakan permohonan lisensi wajib terdiri dari pasal 87, pasal 88, pasal 89, pasal 90, pasal 91, pasal 92, dan pasal 93. Bagian ketiga lisensi wajib paragraf 4 membahas pencatatan lisensi wajib terdiri dari pasal 94, pasal 95, dan pasal 96. Bagian ketiga lisensi wajib paragraf 5 membahas pelaksanaan lisensi wajib terdiri dari pasal 97, pasal 98, pasal 99, pasal 100, dan pasal 101. Bagian ketiga lisensi wajib paragraf 6 membahas pengalihan lisensi wajib terdiri dari pasal 102. Bagian ketiga lisensi wajib paragraf 7 membahas berakhirnya lisensi wajib terdiri dari pasal 103, pasal 104, pasal 105, pasal 106, dan pasal 107. Bagian keempat paten sebagai objek jaminan fidusia terdiri dari pasal 108.

BAB 8 membahas pelaksanaan paten oleh pemerintah terdiri dari pasal 109, pasal 110, pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal 115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, dan pasal 120.

BAB 9 membahas paten sederhana terdiri dari pasal 121, pasal 122, pasal 123, dan pasal 124.

BAB 10 membahas dokumentasi dan pelayanan informasi paten terdiri dari pasal 125.

BAB 11 membahas biaya terdiri dari pasal 126, pasal 127, pasal 128, dan pasal 129.

BAB 12 membahas penghapusan paten terdiri dari pasal 130, pasal 131, pasal 132, pasal 133, pasal 134, pasal 135, pasal 136, pasal 137, pasal 138, pasal 139, pasal 140, dan pasal 141.

BAB 13 membahas penyelesaian sengketa. BAB 13 terdiri dari bagian kesatu umum, bagian kedua tata cara gugatan, bagian ketiga kasasi, dan bagian keempat alternative penyelesaian sengeketa. Bagian kesatu umum terdiri dari pasal 142 dan pasal 143. Bagian kedua tata cara gugatan terdiri dari pasal 144, pasal 145, pasal 146, pasal 147, dan pasal 148. Bagian ketiga kasasi terdiri dari pasal 149, pasal 150, pasal 151, dan pasal 152. Bagian keempat alternative penyelesaian sengeketa terdiri dari pasal 153 dan pasal 154.

BAB 14 membahas penetapan sementara pengadilan terdiri dari pasal 155, pasal 156, pasal 157, dan pasal 158.

BAB 15 membahas penyidikan terdiri dari pasal 159.

BAB 16 membahas perbuatan yang dilarang terdiri dari pasal 160.

BAB 17 membahas ketentuan pidana terdiri dari pasal 161, pasal 162, pasal 163, pasal 164, pasal 165, dan pasal 166.

BAB 18 membahas ketentuan lain – lain terdiri dari pasal 167 dan pasal 168.

BAB 19 membahas ketentuan peralihan terdiri dari pasal 169.

BAB 20 membahas ketentuan penutup terdiri dari pasal 170, pasal 172, dan pasal 173.

REVIEW UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

 

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, alau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Undang – undang no. 28 tahun 2014 mengenai hak cipta ini terdiri 19 BAB dan 126 Pasal, yang mana dalam UU tersebut sudah dijelaskan secara rinci mengenai hak cipta.

 

BAB 1 membahas terkait ketentuan umum. BAB 1 terdiri dari pasal 1, pasal 2, dan pasal 3.  BAB 1 pasal 1 membahas hak cipta dan perangkatnya secara umum. BAB 1 pasal 2 membahas keberlakuan hak cipta. BAB 1 pasal 3 membahas pengaturan hak cipta.

BAB 2 membahas bagian kesatu umum, bagian kedua hak moral, dan bagian ketiga hak ekonomi. BAB 2 terdiri dari pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 16, pasal 17, pasal 18, dan pasal 19. BAB 2 pasal 4 membahas hak cipta yang merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. BAB 2 pasal 5 membahas hak moral pada pencipta. BAB 2 pasal 6 membahas perlindungan hak moral. BAB 2 pasal 7 membahas informasi pada hak cipta. BAB 2 pasal 8 membahas hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. BAB 2 pasal 9 membahas hak – hak ekonomi untuk pencipta. BAB 2 pasal 10 membahas pegelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penggandaan barang hasil hak cipta di tempat perdagangan yang dikelolanya. BAB 2 pasal 11 membahas hak ekonomi untuk melakukan pendistribusian ciptaan dan menyewakan ciptaannya. BAB 2 pasal 12 membahas larangan pada setiap orang pada hak cipta. BAB 2 pasal 13 membahas persetujuan hak cipta di distribusikan jika diberi persetujuan oleh pencipta. BAB 2 pasal 14 membahas proses peradilan pidana untuk pelanggaran hak ciipta. BAB 2 pasal 15 membahas pengadaan yang diproduksi untuk keperlian pameran tanpa persetujuan hak cipta. BAB 2 pasal 16 membahas hak cipta yang dapat dialihkan. BAB 2 pasal 17 membahas hak ekonomi pada pengalihan suatu ciptaan. BAB 2 pasal 18 membahas waktu hak cipta beralih kepada pencipta. BAB 2 pasal 19 membahas ahli waris pada hak cipta.

BAB 3 membahas bagian kesatu umum yaitu terdiri dari pasal 20 yang mana membahas hak eksklusif apa saja yang didapatkan pada hak cipta. Bagian kedua hak moral pelaku pertunjukan terdiri dari pasal 21 dan pasal 22. Bagian ketiga hak ekonomi paragraf 1 hak ekonomi pelaku pertunjukan terdiri dari pasal 23, paragraf 2 hak ekonomi prosedur fonogram terdiri dari pasal 24, paragraf 3 hak ekonomi lembaga penyiaran terdiri dari pasal 25, paragraf 4 pembatasan perlindungan terdiri dari pasal 26, paragraf 5 pemberian imbalan yang wajar atas penggunaan fonogram terdiri dari pasal 27 dan pasal 28, paragraf 6 pengalihan hak ekonomi terdiri dari pasal 29 dan pasal 30.

BAB 4 membahas pencipta yang terdiri dari pasal 31, pasal 32, pasal 33, pasal 34, pasal 35, pasal 36, dan pasal 37.

BAB 5 membahas ekspresi budaya tradisional dan ciptaan yang dilindungi pada bagian kesatu ekspresi budaya tradisional dan hak cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui terdiri dari pasal 38 dan pasal 39. Bagian kedua ciptaan yang dilindungi terdiri dari pasal 40. Bagian ketiga hasil karya yang tidak dilindungi hak cipta terdiri dari pasal 41 dan pasal 42.

BAB 6 membahas pembatasan hak cipta yang terdiri dari pasal 43, pasal 44, pasal 45, pasal 46, pasal 47, pasal 48, pasal 49, pasal 50, dan pasal 51.

BAB 7 membahas sarana control teknologi terdiri dari pasal 52 dan pasal 53.

BAB 8 membahas konten hak cipta dan hak terkait dalam teknologi informasi dari komunikasi terdiri dari pasal 54, pasal 55, dan pasal 56.

BAB 9 membahas masa berlaku hak cipta dan hak terkait. Bagian kesatu masa berlaku hak cipta paragraf 1 masa berlaku hak moral terdiri dari pasal 57, paragraf 2 masa berlaku hak ekonomi terdiri dari pasal 58, pasal 59, pasal 60, dan pasal 61. Bagian kedua masa berlaku hak terkait paragraf 1 masa berlaku hak moral pelaku pertunjukan terdiri dari pasal 62, paragraf 2 masa berlaku hak ekonomi pelaku pertunjukan, prosedur fonogram, dan lembaga penyiaran terdiri dari pasal 63.

BAB 10 membahas pencatatan ciptaan dan produk hak terkait. Bagian kesatu umum terdiri dari pasal 64 dan pasal 65. Bagian kedua tata cara pencatatan terdiri dari pasal 66, pasal 67, pasal 68, pasal 69, pasal 70, pasal 71, pasal 72, dan pasal 73. Bagian ketiga hapusnya kekuatan hokum pencatatan ciptaan dan produk hak terkait terdiri dari pasal 74 dan pasal 75. Bagian keempat pengalihan ha katas pencatatan ciptaan dan produk hak terkait terdiri dari pasal 76 dan pasal 77. Bagian kelima perubahan nama dan/ atau alamat terdiri dari pasal 78 dan pasal 79.

BAB 11 membahas lisensi dan lisensi wajib. Bagian kesatu lisensi terdiri dari pasal 80, pasal 81, pasal 82, dan pasal 83. Bagian kedua lisensi wajib terdiri dari pasal 84, pasal 85, dan pasal 86.

BAB 12 membahas lembaga manajemen kolektif terdiri dari pasal 87, pasal 88, pasal 89, pasal 90, pasal 91, pasal 92, dan pasal 93.

BAB 13 membahas biaya terdiri dari pasal 94.

BAB 14 membahas penyelesaian sengketa. Bagian kesatu umum terdiri dari pasal 95, pasal 96, pasal 97, pasal 98, dan pasal 99. Bagian kedua tata cara gugatan terdiri dari pasal 100 dan pasal 101. Bagian ketiga upaya hokum terdiri dari pasal 102, pasal 103, pasal 104, dan pasal 105.

BAB 15 membahas penetapan sementara pengadilan terdiri dari pasal 106, pasal 107, pasal 108, dan pasal 109.

BAB 16 membahas penyidikan terdiri dari pasal 110 dan pasal 111.

BAB 17 membahas ketentuan pidana terdiri dari pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal 115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, dan pasal 120.

BAB 18 membahas ketentuan peralihan terdiri dari pasal 121 dan pasal 122.

BAB 19 membahas ketentuan penutup terdiri dari pasal 123, pasal 124, pasal 125, dan pasal 126.

Minggu, 09 Januari 2022

SNI dan ISO

 

SNI

SNI adalah standar yang berlaku secara nasional di negara Indonesia, disusun dan dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh BSN (Badan Standardisasi Nasional). Standar ini ditetapkan oleh pemerintah untuk diterapkan pada berbagai hasil produksi yang dibuat oleh masyarakat Indonesia, baik produksi perorangan maupun sebuah organisasi atau perusahaan. Secara umum SNI bersifat sukarela, namun  wajib bagi beberapa produk sebagaimana yang disebutkan pada “Peraturan Menteri Perdagangan No.72/M-DAG/PER/9/2015”.

Cara mengidentifikasi suatu barang produksi sudah bersertifikat SNI adalah dengan adanya label “SNI”. Jadi label tersebut berfungsi untuk memberikan jaminan standar kualitas dan kelayakan bahwa barang tersebut sudah lulus dan sesuai dengan standar yang diberlakukan oleh pemerintah. Stempel ini juga menjadi jaminan keamanan bagi konsumen yang menggunakan barang-barang tersebut dan perlindungan bagi hak dan kewajiban produsen barang tersebut.

Contoh gambar label SNI

        Tujuan adanya label SNI pada setiap produk, yakni menandakan bahwa produk tersebut sudah lulus uji dan memang layak untuk dipasarkan. Dengan label SNI dapat memberikan jaminan bahwa produk tersebut sudah memenuhi standar.

Manfaat yang didapat dari penerapan SNI produk antara lain:

1. Meningkatkan daya saing industri nasional, menjamin mutu hasil industri, dan menciptakan persaingan usaha yang sehat dan adil. Produk yang telah menggunakan standar SNI diharapkan memiliki mutu yang baik dan konsisten sehingga dapat meningkatkan daya saing dan pemasaran secara global. Penggunaan SNI juga dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi biaya karena terjadi optimasi proses produksi.

2. Melindungi konsumen dan meningkatkan kepuasan konsumen. Penerapan SNI wajib pada produk yang berisiko tinggi seperti air minum (AMDK), mainan anak, tabung gas, regulator, dan selang gas bertujuan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen. Sehingga konsumen lebih percaya diri pada saat memilih produk ber-SNI bahwa produknya tersebut aman, dapat diandalkan, dan berkualitas tinggi.

3.  Memfasilitasi produsen untuk meningkatkan pasar terhadap produk mereka.


ISO

ISO 9001 adalah standar sistem manajemen mutu yang diakui secara internasional, yang merupakan tolak ukur global untuk sistem manajemen mutu. ISO 9001 menetapkan persyaratan dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen mutu. Standar ISO 9001:2015 bersifat umum dan dapat diterapkan oleh semua perusahaan atau organisasi yang berfokus pada manajemen mutu produk dan jasa. Perusahaan atau Organisasi yang dapat menerapkan ISO 9001:2015 seperti Perusahaan segala sektor, Rumah Sakit, Lembaga Kemanusiaan, Lembaga Zakat dan sejenisnya.

Salah satu tujuan utama standar ISO 9001 adalah untuk memberikan pelanggan kepuasan yang mereka inginkan. Dengan menerapkan sistem manajemen dan penanganan mutu yang berstandar internasional, perusahaan dipastikan mampu menghilangkan hambatan manajemen yang tidak perlu.

Manfaat yang didapat dari penerapan ISO:

1. Setiap Perusahaan maupun Organisasi yang telah mengimplentasikan sistem manajemen mutu ISO 9001 berbeda dengan perusahaan atau organisasi yang belum mengimplentasikan sistem manajemen mutu ISO 9001 dari kualitas produk, proses maupun layanan yang diberikan.

2.  Dapat meningkatkan efisiensi tingkat organisasi atau perusahaan.

3. ISO 9001 merupakan standar internasional dan standar yang paling banyak di gunakan oleh banyak organisasi / perusahaan.

4. Bagi organisasi yang telah mengimplentasikan sistem manajemen mutu ISO 9001 dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan, juga memotivasi karyawan serta menciptakan budaya perbaikan secara berkelanjutan.

5. Dapat meminimalisir pekerjaan yang berulang dan waste.

6. Bagi organisasi yang telah mengimplentasikan sistem manajemen mutu ISO 9001 dapat meningkatkan citra perusahaan dan mempunyai daya saing.

7. ISO 9001 berdasarkan delapan prinsip manajemen mutu yang terkait dan Pendekatan proses.

8. Bagi organisasi yang telah mengimplentasikan sistem manajemen mutu ISO 9001 dapat meningkatkan Jaminan Kualitas Produk dan Proses.

9. Dapat meningkatkan produktivitas organisasi.

10. Bagi organisasi yang telah mengimplentasikan sistem manajemen mutu ISO 9001 dapat memenuhi kebutuhan pasar.

11.  Dapat meningkatkan kinerja proses secara terus menerus.

12. Bagi organisasi yang telah mengimplentasikan sistem manajemen mutu ISO 9001 dapat meningkatkan peluang untuk masuk pasar global.

13.  Kinerja direview secara teratur dan fokus pada pencapaian target.

14. Bagi organisasi yang telah mengimplentasikan sistem manajemen mutu ISO 9001 dapat meningkatkan produktivitas perusahaan Untuk memastikan standar kerja pada perusahaan.

15. Apabila ada pergantian karyawan proses tetap dapat berlanjut

16.  Dapat meningkatkan efisiensi pada level operasional

17. Produktivitas yang tidak memenuhi standar mutu dapat diminimalkan dan tingkat kesalahan dapat dihindarkan.

 

PERBEDAAN ISO DAN SNI

Internasional Organization for Standardization (ISO) merupakan organisasi internasional yang anggotanya terdiri dari hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. yang memiliki fungsi perumusan dan penerbitan standar internasional. Ada ribuan standar yang telah dikeluarkan oleh ISO salah satunya yang paling terkenal ialah Standar mengenai sistem manajemen mutu, yaitu ISO 9001 yang saat ini sudah terbit versi terbarunya yaitu ISO 9001 : 2015.

Sedangkan Standar Nasional Indonesia (SNI) merupakan Standar nasional yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan berlaku di wilayah Indonesia. Saat ini tercatat lebih dari 6000 SNI yang sudah ditetapkan, dari mulai standar untuk produk, standar pengujian, standar kompetensi, termasuk standar sistem manajemen yang mengadopsi penuh dari ISO seperti SNI ISO 9001 : 2015.

Jadi SNI adalah standar yang dikeluarkan BSN sedangkan ISO adalah standar yang dikeluarkan oleh Organisasi ISO. BSN sendiri dalam hal ini merupakan Anggota penuh ISO sebagai perwakilan dari Indonesia.

Sertifikat ISO dan SNI

Proses sertifikasi adalah proses penilaian kesesuaian apakah suatu proses, produk, jasa, person, sistem manajemen memenuhi / sesuai terhadap standar yang diacu. tentunya sebelum kita bisa menjawab sama atau tidak kita perlu melihat standar yang diacu, misalnya jika suatau perusahaan yang memproduksi televisi telah tersertifikasi untuk ISO 9001 apakah ia perlu melakukan sertifikasi untuk SNI/ISO 9001 yang merupakan adopsi identik dari ISO 9001 tentunya secara prinsip tidak. kecuali jika lembaga sertifikasi yang mensertifikasi belum terakreditasi, atau sudah terakreditasi namun lembaga akreditasinya belum di recognize oleh PAC / IAF (belum menandatangani Multinational Recognition Arrangement dengan PAC/IAF).

Namun jika perusahaan yang tersertifikasi ISO 9001 tersebut ingin agar produk televisinya menggunakan tanda SNI, tentu dia tidak bisa mengklaim bahwa dia telah tersertifikasi oleh standar internasional sehingga tidak perlu lagi sertifikasi berdasarkan SNI. hal ini karena ISO 9001 / SNI ISO 9001 adalah standar untuk sistem manajemen, sedangkan untuk produk TV standar yang digunakan di Indonesia adalah SNI 04-6709.1-2002 yang merupakah standar keamanan untuk produk audio visual. tentunya menjadi tidak relevan jika ingin disamakan.

Kemudian selain Standar dan Lembaga sertifikasinya, faktor yang menentukan apakah suatu sertifikasi bisa diterima atau dianggap sama adalah terkait Skema sertifikasi / regulasi (jika produk tersebut sudah wajib SNI), karena proses sertifikasi bukan sekedar pengujian dan audit, namun juga pengaturan mengenai aspek legalitas dan pertanggunggugatan apakah dalam skema sertifikasi / regulasi sudah mengatur mengenai keberterimaan sertifikat produk menggunakan standar / lembaga sertifikasi di luar Indonesia atau tidak apakah ada perbedaan mekanisme evaluasi terhadap perusahaan yang telah memiliki sertifikasi berdasarkan standar lain. Inilah yang paling sering menjadi tantangan utama, karena skema sertifikasi dan regulasi yang berlaku di Indonesia, secara umum belum mengakomodasi sistem keberterimaan sertifikasi berdasarkan standar lain diluar SNI.

Mendapatakan SPPT SNI harus punya SNI/ISO 9001 terlebih dahulu? Ini juga yang sering menjadi kebingungan para pelaku usaha yang ingin melakukan sertifikasi produk, biasanya suatu perusahaan dalam mengurus SPPT SNI menggunakan jasa pihak ketiga (konsultan) untuk mengatur segala macam hal terkait SPPT SNI dan seringkali ada informasi dari konsultan yang kurang tepat bahwa untuk mengurus SPPT SNI harus tersertifikasi ISO 9001 terlebih dahulu, hal ini tidak benar karena kalaupun mensyaratkan sistem manajemen, yang diminta adalah menerapkan bukan mensertifikasi.

KESIMPULAN

SNI merupakan standar nasional indonesia yang berlaku di wilayah republik Indonesia, SNI ditetapkan oleh BSN yang merupakan perwakilan Indonesia di ISO, apakah suatu sertifikasi ISO / standar lain bisa diakui atau tidak dalam pengurusan SPPT SNI haruslah melihat dari standar, Lembaga yang mensertifikasi dan skema sertifikasinya. dan sertifikasi ISO 9001 secara umum tidak diwajibkan dalam pengurusan SPPT SNI untuk produk tertentu.



Sabtu, 06 November 2021

Review Udang - Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran #Etika Profesi

 

Keinsinyuran merupakan kegiatan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan peradaban dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia melalui penyelenggaraan keinsinyuran yang andal dan profesional yang mampu meningkatkan nilai tambah, daya guna dan hasil guna, memberikan pelindungan kepada masyarakat, serta mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Insinyur adalah seseorang yang mempunyai gelar profesi di bidang Keinsinyuran. Insinyur Asing adalah Insinyur yang berkewarganegaraan asing. Udang – undang no. 11 tahun 2014 mengenai keinnsinyuran ini terdiri 15 BAB dan 56 Pasal, yang mana dalam UU tersebut sudah dijelaskan secara rinci mengenai keinsinyuran. 

Bab 1 membahas terkait ketentuan umum. Bab 1 terdiri dari 1 pasal dan 14 ayat. Pasal 1 tersebut berisikan ayat-ayat yang membahas keinsinyuran dan perangkatnya secara umum.

Bab 2 membahas terkait asas, tujuan, dan lingkup. Bab 2 terdiri dari 3 pasal dan masing – masing ayat. Pasal 2 membahas pengaturan keinsinyuran berdasarkan pancasila dan berasaskan. Pasal 3 membahas pengaturan keinsinyuran. Pasal 4 membahas lingkup pengaturan keinsinyuran.

Bab 3 membahas terkait cakupan keinsinyuran. Bab 3 terdiri dari 1 pasal dan 3 ayat. Pasal 5 ayat 1 membahas keinsinyuran mencakup disiplin. Pasal 5 ayat 2 membahas keinsinyuran mencakup berbagai bidang. Pasal 5 ayat 3 membahas ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan disiplin teknik keinsiyuran dan cakupan bidang keinsinyuran.

Bab 4 membahas terkait standar keinsinyuran. Bab 4 terdiri dari 1 pasal dan 4 ayat. Pasal 6 ayat 1 membahas penjaminan mutu kompetensi dan profesionalitas layanan profesi Insinyur. Pasal 6 ayat 2 membahas standar layanan Insinyur ditetapkan oleh menteri yang membina bidang Keinsinyuran atas usul PII. Pasal 6 ayat 3 membahas standar kompetensi insinyur ditetapkan oleh dewan insinyur Indonesia bersama menteri yang membina bidang keinsinyuran. Pasal 6 ayat 4 membahas standar program profesi insinyur ditetapkan oleh menteri yang disusun atas usul perguruan tinggi penyelenggara program profesi Insinyur bersama dengan menteri yang membina bidang keinsinyuran dan dewan insinyur Indonesia.

Bab 5 membahas terkait progam profesi insinyur. Bab 5 terdiri dari 4 pasal dan masing – masing ayat. Bab 5 pasal 7 membahas peraturan terkait syarat dalam mengikuti program profesi keinsinyuran. Bab 5 pasal 8 membahas informasi penyelenggara program profesi keinsinyuran. Bab 5 pasal 9 membahas gelar profesi bagi yang sudah mengikuti profram profesi keinsinyuran. 

Bab 6 membahas terkait registrasi insinyur. Bab 6 terdiri dari 8 pasal dan masing – masing ayat.  Bab 6 pasal 10 membahas setiap insinyur harus memiliki surat tanda registrasi insinyur jika ingin melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia. Bab 6 pasal 11 membahas cara memperoleh surat tanda registrasi insinyur. Bab 6 pasal 12 membahas hal-hal yang terncantum dalam surat tanda registrasi insinyur. Bab 6 pasal 13 membahas masa berlakunya surat tanda registrasi insinyur. Bab 6 pasal 14 membahas hal-hal yang menjadi surat tanda registrasi insinyur tidak berlaku. Bab 6 pasal 15 membahas sanksi terhadap insinyur yang melaksanakan kegiatannya tanpa ada surat tanda registrasi insinyur. Bab 6 pasal 16 membahas sanksi pada insinyur yang telah memiliki surat Tanda registrasi insinyur, apabila melakukan kegiatan keinsinyuran yang menimbulkan kerugian materiil. Bab 6 pasal 17 membahas lebih lanjut mengenai registrasi Insinyur sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal sebelumnya.

Bab 7 membahas terkait insyinyur asing. Bab 7 terdiri dari 5 pasal dan masing – masing ayat. Bab 7 pasal 18 membahas pengaturan insinyur asing dalam praktik keinsinyuran yang dilakukan di Indonesia. Bab 7 pasal 19 membahas kewajiban insinyur asing. Bab 7 pasal 20 membahas insinyur asing memberikan jasa keinsinyuran. Bab 7 pasal 21 membahas lebih lanjut mengenai insinyur asing.

Bab 8 membahas terkait pengembangan keprofesian bekerlanjutan. Bab 8 terdiri dari 1 pasal dan 5 ayat.

Bab 9 membahas terkait hak dan kewajiban. Bab 9 terdiri dari 6 pasal dan masing – masing ayat. Bab 9 pasal 24 membahas peraturan hak pada insinyur dan insinyur asing. Bab 9 pasal 25 membahas peraturan kewajiban pada insinyur dan insinyur asing. Bab 9 pasal 26 membahas hak-hak pada pengguna keinsinyuran dalam menerima hasil kerja insinyur. Bab 9 pasal 27 membahas kewajiban pada pengguna keinsinyuran. Bab 9 pasal 28 membahas hak-hak pada pemanfaat keinsinyuran. Bab 9 pasal 29 membahas kewajiban pada pemanfaat keinsinyuran dengan mengikuti ketentuan standar.

Bab 10 membahas terkait dewan insinyur Indonesia. Bab 10 terdiri dari 6 pasal dan masing – masing ayat. Bab 10 pasal 30 membahas keanggotaan dewan insinyur Indonesia itu sendiri. Bab 10 pasal 31 membahas fungsi dewan insinyur Indonesia dalam pelaksanaan praktik keinsinyuran. Bab 10 pasal 32 membahas tugas dewan insinyur Indonesia. Bab 10 pasal 33 membahas wewenang dewan insinyur Indonesia. Bab 10 pasal 34  membahas pendanaan dewan insinyur Indonesia yang bersumber dari negara. Bab 10 pasal 35 membahas ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, struktur organisasi, rekrutmen dan jumlah anggota, serta pendanaan dewan insinyur Indonesia.

Bab 11 membahas terkait persatuan insinyur Indonesia. Bab 11 terdiri dari 9 pasal dan masing – masing ayat. Bab 11 pasal 36 membahas tentang persatuan insinyur Indonesia salah satunya dimana Insinyur Indonesia berhimpun dalam wadah organisasi PII. Bab 11 pasal 37 membahas fungsi pelaksanaan Praktik Keinsinyuran di PII. Bab 11 pasal 38 dan pasal 39 membahas secara berturut-turut membahas peraturan tentang tugas dan wewenang dari PII. Bab 11 pasal 40, pasal41, dan pasal 42 membahas peraturan tentang kode etik PII. Bab 11 pasal 43 membahas sumber pendanaan PII. Bab 11 pasal 44 membahas keseluruhan terkait PII diatur dalam suatu anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Bab 12 membahas terkait pembinaan keinsinyuran. Bab 12 terdiri dari 5 pasal dan masing – masing ayat. Bab 12 pasal 45 membahas tangung jawab pemerintah atas pembinaan keinsiyuran. Bab 12 pasal 46 membahas pembinaan keinsinyuran. Bab 12 pasal 47 membahas pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk praktik keinsinyuran. Bab 12 pasal 48 membahas pemerintah dapat melakukan audit kinerja keinsinyuran. Bab 12 pasal 49 membahas ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan keinsinyuran.

Bab 13 membahas terkait ketentuan pidana. Bab 12 terdiri dari 2 pasal dan masing – masing ayat. Bab 13 pasal 50 membahas ketentuan pidana pada orang yang bukan insinyur tapi  menjalankan praktik keinsinyuran. Bab 13 pasal 51 membahas ketentuan pidana pada insinyur atau insinyur asing saat melaksanakan tugas profesi dan tidak memenuhi standar keinsinyuran.

Bab 14 membahas terkait ketentuan peralihan. Bab 14 terdiri dari 2 pasal dan masing – masing ayat. Bab 14 pasal 52 membahas setiap orang yang sudah mendapatkan gelar insinyur berhak melakukan praktik keinsinyuran. Bab 14 pasal 53 membahas anggaran dasar dan anggaran rumah PII.

Bab 15 membahas terkait ketentuan penutup. Bab 15 terdiri dari 3 pasal dan 1 ayat setiap pasalnya. Bab 15 pasal 54 membahas peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak undang - undang ini diundangkan. Bab 15 pasal 55 membahas Dewan Insinyur Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 harus dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak undang - undang ini diundangkan. Bab 15 pasal 56 membahas undang - undang ini mulai disahkan di Jakarta pada tanggal 22 maret 2014 oleh DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 maret 2014 oleh menteri hokum dan hak asasi manusia republic Indonesia yaitu Amir Syamsudin.

Selasa, 21 Januari 2020

Project Citizen Untuk Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

MENYELENGGARAKAN PROJECT CITIZEN UNTUK MATA KULIAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Strategi instruksional yang digunakan dalam model ini, pada dasarnya bertolak dari strategi “inquiry learning, discovery learning, problem solving learning, research-oriented learning (belajar melalui penelitian, penyingkapan, pemecahan masalah)” yang dikemas dalam model “Project” ala John Dewey. Model ini sangat cocok untuk pembelajaran PKn dalam rangka menumbuhkan karakter warga negara Indonesia yang cerdas dan baik (smart and good citizen). 
Model ini dapat dilakukan selama satu semester dan dikerjakan lebih banyak di luar kelas. Dosen pengampu mata kuliah dapat melakukan pemantauan mingguan sesuai dengan jadwal waktu yang ditetapkan. 
Contoh penggunaan waktu: 
Langkah 1: Mengidentifikasi masalah (1 minggu). 

Langkah 2: Memilih masalah untuk bahan kajian kelas (1 minggu). 

Langkah 3: Mengumpulkan data dan informasi (4 minggu). 

Langkah 4: Mengembangkan portofolio kelas (4 minggu). 

Langkah 5: Menyajikan portofolio (1 minggu). 

Langkah 6: Merefleksi pengalaman belajar (1 minggu). 


Langkah 1: Mengidentifikasi Masalah 
Belajar itu bukan hanya berisi kegiatan menghapal konsep maupun data dan fakta, melainkan mengasah kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving). Contoh masalah perilaku yang buruk dalam berlalu lintas, membuang sampah sembarangan, tidak mencintai lingkungan, perilaku tidak sopan, tidak suka bekerja keras, perilaku tidak konsisten, menyalahgunakan wewenang, dan sebagainya. 
Tujuan tahap ini adalah untuk berbagi informasi yang sudah diketahui para mahasiswa, oleh teman-temannya, dan oleh orang lain berkaitan dengan permasalahan tersebut. Dan mengasah kepekaan terhadap persoalan di lingkungannya. Hal ini tumbuh berkat belajar berbasis pemecahan masalah (problem solving). 
Langkah 2: Memilih Masalah untuk Bahan Kajian Kelas 
Kelas hendaknya mendiskusikan semua informasi yang telah didapat 
Tujuan tahap ini adalah agar kelas dapat memilih satu masalah sebagai bahan kajian kelas. Dengan demikian kelas memiliki satu masalah yang merupakan pilihan bersama untuk dijadikan bahan kajian kelas.  
Kegiatan pada langkah kedua ini banyak memberikan pengalaman belajar kepada para mahasiswa, misalnya mereka dibiasakan untuk membuat keputusan secara nalar dan penuh keyakinan. Keputusan tidak diambil ‘sembrono’ berdasarkan perasaan atau mengikuti kaprah umum. Pengalaman belajar demikian diperoleh setelah para mahasiswa diajak untuk memutuskan pilihan berdasarkan pertimbangan yang sangat matang, penuh dengan pertimbangan dari berbagai segi. 
Pengalaman belajar lain yang dipelajari pada kegiatan tahap dua ini adalah sikap tanggung jawab untuk melaksanakan keputusan bersama. 
Langkah 3: Mengumpulkan Informasi 
Tujuan tahap ini adalah agar kelas dapat memperoleh data dan informasi yang akurat dan komprehensif untuk memahami masalah yang menjadi kajian kelas. 
Aktivitas Kelas Mengidentifikasi Sumber-Sumber Informasi 
Contoh-Contoh Sumber Informasi 
1. Perpustakaan. 
3. Biro Kliping. 
4. Profesor dan pakar di perguruan tinggi. 
5. Kepolisian. terbaik untuk mencegah kasus serupa tidak terulang kembali. 
6. Organisasi Masyarakat. 
7. Kantor Legislatif dan Pemerintah Daerah. 
8. Lembaga Swadaya Masyarakat. 
9. Jaringan Informasi Elektronik. 

           Kegiatan pada langkah tiga memberikan banyak pengalaman belajar kepada para mahasiswa di antaranya adalah membiasakan untuk mengambil keputusan dengan dukungan data dan informasi yang akurat. 
Langkah 4: Mengembangkan Portofolio Kelas
Tujuan tahap ini adalah agar para mahasiswa dapat menyusun portofolio kelas, baik portofolio bagian tayangan maupun portofolio bagian dokumentasi berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari kegiatan penelitian. 
Kegiatan pada langkah keempat memberikan banyak pengalaman belajar kepada para mahasiswa di antaranya dan yang paling menonjol adalah mengasah kemampuan bekerja dalam tim. 
Langkah 5: Menyajikan Portofolio 
            Empat tujuan dasar kegiatan presentasi portofolio (showcase) ini antara lain adalah sebagai berikut: 
·     Memberikan informasi kepada para hadirin tentang pentingnya masalah yang diidentifikasi itu bagi masyarakat. 
·     Menjelaskan dan memberikan penilaian atas kebijakan alternatif kepada para hadirin, dengan tujuan agar mereka dapat memahami keutungan dan kerugian dari masing-masing kebijakan alternatif tersebut. 
·     Mendiskusikan dengan para hadirin bahwa pilihan kebijakan yang telah dipilih adalah kebijakan yang "paling baik" untuk menangani permasalahan tersebut. Selain itu para mahasiswa juga harus bisa "membuat suatu argumen yang rasional" untuk mendukung pemikiran mereka. Diskusi ini juga bertujuan untuk meyakinkan para hadirin bahwa menurut pemikiran dan dukungan kelas, kebijakan yang telah dipilih tidak bertentangan dengan konstitusi. 

·     Menunjukkan bagaimana cara kelas dapat memperoleh dukungan dari masyarakat, lembaga legislatif dan eksekutif, lembaga pemerintahan/swasta lainnya atas kebijakan pilihan kelas. 

Pada langkah kelima ini para mahasiswa belajar mengkomunikasikan gagasan kepada orang lain dan belajar meyakinkan orang lain untuk menerima gagasan-gagasan tersebut.
Langkah 6: Merefleksi Pengalaman Belajar 
Refleksi pengalaman belajar ini merupakan salah satu cara untuk belajar, untuk menghindari agar jangan sampai melakukan suatu kesalahan, dan untuk meningkatkan kemampuan yang sudah mahasiswa miliki. 
            Refleksi pengalaman ini hendaklah merupakan hasil kerja sama antara teman-teman sekelas, sama seperti kerjasama antara mereka yang telah dilakukan selama membuat portofolio kelas. Di samping itu, para mahasiswa juga harus merefleksikan pengalaman belajarnya baik sebagai seorang pribadi maupun sebagai salah satu anggota kelas.